Rabu, 20 April 2011

Sejarah & letak Geografis Kota Probolinggo

BANGER dan PROBOLINGGO



Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk), Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389), Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”, yaitu nama sebuah sungai yang mengalir di tengah daerah. Banger merupakan pedukuhan kecil di bawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger sendiri dikenal dari buku Negarakertagama yang ditulis oleh pujangga kerajaan Majapahit yang terkenal yaitu Mpu Prapanca.
Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya.
Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).
Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.
Banger mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini ternyata menarik perhatian dari Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan yang berkuasa. Hingga pada akhirnya Banger dapat dikuasai oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger pernah menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”.
Pada masa pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah timur Pasuruan, termasuk Banger, diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung.
Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Bolo Djolodrijo (Kiem Boen), seorang patih Pasuruan. Pada akhirnya Tumenggung Djojolelono diganti oleh Tumenggung Djojonegoro. Ketika Tumenggung Djojonegoro memegang pemerintahan, pada tahun 1770 nama Banger diganti menjadi PROBOLINGGO, dimana PROBO dalam bahasa sansekerta berarti sinar sedangkan LINGGO berarti tanda peringatan atau tugu. Hal ini ada hubungannya dengan cerita kuno  yaitu jatuhnya sebuah benda bercahaya (meteor) dan tempat jatuhnya benda tersebut oleh raja-raja dahulu dipilih sebagai tempat untuk mendapatkan perdamaian dan mengakhiri perselisihan.



Letak Geografis.
Probolinggo adalah kota pesisir yang terletak disebelah Timur dari propinsi Jatim. Daerahnya merupakan dataran rendah ditepi selat Madura. Meskipun kotanya merupakan dataran rendah tapi pada latar belakang kota tersebut terletak pegunungan Tengger dan gunung Bromo. Itulah sebabnya Probolinggo mempunyai daerah ’hinterland’ yang subur. Di daerah dataran rendahnya orang menanam tebu dan padi. Oleh sebab itu dalam jarak 6 km saja sebelah Selatan dari Probolinggo sudah terdapat 4 buah pabrik gula (Wonolangan, Wonoasih, Sumber Kareng dan Umbul). Probolinggo juga merupakan titik temu yang penting serta pelabuhan regional untuk produk pertanian daerah pedalaman seperti gula, tembakau dan kopi.
Sudah sejak jaman Daendels (1808-1811) Probolinggo mempunyai hubungan infra struktur yang baik dengan kota-kota  lain di Jawa Timur. Probolinggo dilalui oleh Grotepostweg (jalan raya pos), jalan raya yang menghubungkan kota-kota di pantai Utara Jawa mulai dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jatim.
Jaringan rel kereta api dari Surabaya ke Pasuruan sepanjang 63 km selesai dibangun oleh Stadspoorwegen (SS), pada th. 1878, kemudian diperpanjang sampai Probolinggo sampai 40 km pada th. 1884. Setelah itu pada th. 1895 rel kereta api disambung lagi dari Probolinggo-Klakah. Pada th. 1896 menyusul cabang-cabang ke Lumajang dan Paciran, selanjutnya diteruskan lewat Jember ke Bondowoso, Situbondo dan diteruskan ke pelabuhan Panarukan dengan jarak 151 km, semua ini selesai pada th. 1897. Dengan demikian hubungan dengan rel kereta api dari Probolinggo ke kota-kota lain terutama dengan kota-kota perkebunan Jatim, antara th.1900 sudah terealisir dengan baik. Sampai saat ini kita sama sekali tidak mempunyai peta-peta kota Probolinggo pada jaman prakolonial. Sehingga sulit mencari jejak bentuknya pada jaman prakolonial. Pembentukan morpologi kota secara mantap kelihatannya sudah dimulai dari th. 1850 an(red: Peta tertua tentang Probolinggo sementara yang didapat kurang lebih berangka tahun 1850 an. Pada waktu itu Probolinggo masih termasuk Karesidenan Besuki).  Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), Probolinggo dijual kepada Han Tik Ko seorang Kapiten Cina dari Pasuruan. Seorang kaliber Daendels memutuskan untuk menjual Probolinggo kepada swasta, hal ini tentunya sudah di pertimbangkan secara masak (red: Pada waktu itu Daendels memang memerlukan banyak uang untuk membangun infra struktur dan pertahanan P. Jawa). Bila hal ini dihubungkan dengan masalah strategis maka jelaslah bahwa pada masa itu (awal abad ke 19), Probolinggo masih dianggap kurang penting. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu ujung Timur propinsi Jatim masih belum berkembang karena infra strukturnya yang masih jelek. Arti strategis Probolinggo ini baru terasa setelah ujung Timur daerah Jatim pada pertengahan dan akhir abad ke 19 berkembang menjadi daerah perkebunan besar.
Probolinggo disebutkan dalam catatan perjalanan Poerwolelono (red: Soerio Tjondro Negoro, ed. Reizen van Raden Mas Poerwolelono I. hal. 147-149) sbb: Kota Probolinggo termasuk bagus, hampir mirip dengan ibukota Pasuruan. Rumah Karesidenan kecil, namun bagus. Rumah itu adalah bekas rumah Asisten Residen waktu Probolinggo berada dibawah Karesidenan Besuki. Rumah Bupati berada disebelah Utara kota, kira-kira pada jarak 1 pal dari rumah Residen. Alun-alun Kabupaten amat luas dan sebelah Utaranya terdapat benteng kecil.  Berdasarkan data-data yang ada, dapat dianalisis perkembangan kota Probolinggo mulai dari jaman pra kolonial (sebelum th. 1743) sampai tahun 1940an menjadi empat tahapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah membuka blog kami , semoga apa yang anda peroleh bisa bermanfaat